PADANG, – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mengungkap versi berbeda tentang ricuh atau bentrok yang terjadi antara Satpol PP Padang dengan pedagang kaki lima (PKL) di Pantai Padang.
Informasi versi LBH merupakan kesaksian PKL dan salah seorang pengunjung perempuan yang mengaku mendapat perlakuan kekerasan dari Satpol PP saat penertiban di kawasan Pantai Padang Rabu (17/8/2022) sore.
LBH menduga dalam melakukan penertiban PKL, telah terjadi tindakan kekerasan baik verbal maupun secara fisik kepada pedagang dan pengunjung Pantai Purus, kawasan Pantai Padang.
Menurut Diki Rafiqi dari LBH Padang, ricuh atau bentrok saat penertiban diduga dipicu oleh tindakan provokasi dan kata-kata kasar dari anggota Satpol PP, yang bunyinya: ‘poyok-poyok kalian sadonyo’ (pelacur kalian semua) dan ‘kalian manggaleh sambia mamoyok’ (kalian bedagang sambil melacur).
Kalimat tersebut, menurut kesaksian PKL, disampaikan oleh Satpol PP yang perempuan kepada PKL perempuan. Momen itu divideokan oleh salah seorang pengunjung perempuan berinisial SA.
Melihat SA merekam, anggota Satpol PP langsung bertindak menangkap SA. Dari sinilah kemudian, emosi PKL tak terkendal dan melakukan perlawanan. Sehingga terjadilah bentrok.
Baca juga:
Perampokan Sadis di Padang Direka Ulang
|
Di LBH Padang, SA menerangkan awalnya dia hanya ingin melihat pantai dengan mengendarai motor. Setibanya di lokasi, dia terjebak macet. Dan, SA pun berhenti lalu mencari tahu apa yang menyebabkan macet.
Saat melihat penertiban oleh PKL, SA berinisiatif merekam. Berselang sekitar setengah jam, SA kemudian dihadang oleh beberapa anggota Satpol PP. Dia pun dipiting dan diangkat ke atas mobil Satpol PP secara paksa.
“Menurut Satpol PP, alasan penangkapan SA, yang boleh merekam penertiban itu hanyal jurnalis, ” kata Diki dalam rilis yang dikirim ke media, Kamis (18/8/2022) malam.
Pasca-kericuhan, tiga orang korban, salah satunya pengunjung perempuan berinisial SA melapor ke Polresta Padang didampingi oleh LBH Padang.
“LBH Padang mengecam tindakan yang tidak manusiawi kepada PKL dan pengunjung. Perbuatan aparat pemerintah seharusnya anti-kekerasan yang sudah diatur jelas pada Pasal 27 Undang Undang Dasar 1945 terkait penghormatan pada Hak Asasi Manusia, ” ungkap Diki.
Selain itu, kata Diki, tindakan Satpol PP juga bertentangan dengan UU No. 5/1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment.
“Penertiban seharusnya tidak menggunakan kekerasan apalagi sampai melanggar Hak Asasi Manusia, ” tegasnya.
“Kami meminta Wali Kota Padang dalam hal menata Pantai Padang, harus mengedepankan dialog terlebih dahulu dengan masyarakat bukan dengan penggusuran, ” lanjut dia.
Sebab, kata Diki, penggusuran dan penghalangan PKL berdampak pada pelanggaran hak atas ekonomi warga. Wali Kota dan jajarannya berkewajiban untuk memenuhi hak atas ekonomi rakyat dalam menata Pantai Padang.
Keinginan PKL, lanjut dia, sangat sederhana, yakni dapat berjualan dan memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
“Mari kita berdialog antara pedagang, Wali Kota dan Satpol PP. Impian kita sesungguhnya sama yakni Pantai Padang yang indah dan menyejahterakan rakyat. Jika penataan Pantai Padang menggusur rakyat lokal dan PKL maka itu jauh dari keindahan yang hakiki, ” ujar Diki. (**)